Bacalah terlebih dahulu kisah sebelumnya
3. STENOS DAN GRAPHEIN (Bag. 1)
“Silakan
duduk Pak Fikri!” ucap pak kepsek, ketika kami sampai ke ruangannya.
“Terima
kasih Pak!” jawabku sambil menebarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
Pada
bagian depan, di dekat pintu masuk, satu set meja rapat mini dengan 8 kursi,
berbentuk bujur sangkar. Terlihat biasa saja, tapi ditata cukup rapi dan
elegan. Di atas meja itu ada 8 name plate
yang menerakan nama-nama orang dan jabatannya yang seharusnya duduk di situ.
Ada Alfian Djoeremi – Ketua Komite Sekolah; Muhammad Zein M. – Pendiri SMK
Labor; Hendripides – Kepala SMK Labor; dan lima name plate lain yang tak sempat aku lihat.
Pada
bagian samping kanan, satu buah lemari besar tempat memajang piala-piala,
vandel, dan photo-photo. Barang-barang itu tersusun tak begitu rapi.
Di
belakang meja kerja pak kepsek, satu buah lemari kecil model dua pintu, tempat
menyimpan buku-buku tebal, dan beberapa sertifikat,. Terlihat benda-benda itu
sudah lama tak tersentuh. Mulai berdebu.
Pada
sebelah kiri, dua buah jendela besar, berjeruji hitam dan bergorden warna biru.
Suhu
di dalam ruangan cukup panas karena tak ada kipas angin, apalagi air conditioner.
“Pak
Fikri masih sering ke kampus?” tanyanya membuka percakapan sambil duduk di
kursi kebesarannnya, kursi kepala SMK Labor.
“Hanya
sekali-kali saja Pak. Hanya untuk pembimbingan skripsi.” Jawabku sekenanya.
“Berarti
Pak Fikri bisa full mengajar di
sini?” tanyanya lagi.
Nampaknya
Pak Hendri bukanlah orang yang suka
berbasa-basi. Langsung pada inti persoalannya. Kalimatnya ini tentu saja
membuatku tiba-tiba menjadi harap-harap cemas. Memberiku beribu harapan yang
berkelap-kelip dengan lampu hijau. Pucuk dicinta ulampun tiba. Ahhaaa…!! Apa
memang betul aku akan diterima menjadi guru di sini, Pak? Apa Bapak tak salah
pilih? Saya masih mahasiswa lho,
Pak! Belum ujian sarjana.
“Insyaallah
Pak, saya usahakan! Lagipula skripsi saya sudah hampir selesai. Jadi tak begitu
banyak lagi kegiatan saya akhir-akhir ini.” Jawabku dengan senyum yang
mengembang begitu sempurna.
Kalimat
apalagi yang diharapkan oleh seorang pelamar kerja selain dari kalimat-kalimat
yang menyiratkan bahwa dia akan diterima bekerja? Apalagi kalimat itu langsung
diucapkan oleh orang yang punya wewenang penuh untuk itu.
“Baiklah
Pak Fikri. Mulai hari Senin besok Pak Fikri mulai mengajar di sini! Menjadi
guru bahasa Indonesia.” Kata beliau lagi membuat aku seperti ingin melompat
dari tempat duduk dan berteriak sekeras-kerasnya.
Subhanallah,
walhamdulillah, walailahailallah, wallahuakbar! Allohumma lakalhamdu syukron, walakalmannu fadlan, Robbi
auzi'nii an asykuro ni'matakallatii an'amta 'alayya, wa'alaa waalidayya wa ana'mala
shoolihan tardhoohu, wa adkhilnii birohmatika fii 'ibaadakash shoolihiin, innii
tubtu ilaika wa innii minal muslimiin.
Aku
ucapkan doa syukur itu di dalam hati mulus tanpa suara.
Dadaku
sesak dengan doa dan harapan-harapan indah yang memenuhi hingga ke relung hati
yang paling dalam. Rasa senang itu tak bisa kutahan. Mengemuka di wajahku
dengan menampilkan senyum yang penuh gairah.
Seketika
terbayang wajah ibu dan bapakku di kampung yang sedang duduk berdua
berdampingan di atas kursi selepas shalat Maghrib. Kedua wajah penat itu
menatapku dengan senyum begitu ceria. Berdua mereka mengelus-elus rambut dan
pundakku.
“Selepas
ini, Pak Fikri silakan ke ruangan majelis guru mencatat daftar pelajaran. Tapi
kalau tak salah, pelajaran Bahasa Indonesia itu ada di hari Selasa siang untuk
kelas akuntansi dan Sabtu pagi untuk kelas Sekretaris. Untuk buku pegangan,
guru kita yang lama, Pak Desko, memakai buku ini.” Ucap Pak Hendri sambil
menyerahkan buku Bahasa Indonesia Untuk SMK Bisnis dan Manajemen, yang
bersampul warna merah jambu.
Aku
ambil buku itu dan membolak-baliknya sebentar. Kemudia aku letakkan ke atas
meja di depanku.
“Untuk
honor, Pak Fikri akan dibayar setiap tanggal satu, bulan berikutnya. Satu jam mengajar
telah kita tetapkan honor sebesar Rp 4000. Seperti yang Pak Fikri ketahui,
sekolah kita adalah sekolah yang baru dibuka. Baru dua lokal. Siswa keseluruhan
berjumlah 67 orang. 34 orang jurusan akuntansi, dan 33 orang jurusan
sekretaris. Sedangkan guru yang mengajar sebanyak 12 orang. Saat ini sekolah
hanya mampu menetapkan honor sebesar Rp 4000 itu untuk setiap jam mengajar.”
“Pak
Fikri akan mengajar di dua kelas, sekretaris dan akuntansi. Seminggu Pak Fikri
akan mengajar sebanyak 4 jam. Berarti sebulan Pak Fikri akan mengajar sebanyak
16 jam. Jadi gaji Pak Fikri sebesar Rp 64.000.” jelas Pak Hendri dengan sangat
detail. Sambil membuat hitung-hitungan pada kertas HVS kosong di atas meja.
Yaah,
cuma Rp 64.000 sebulan. Uang sebesar itu sebulan cukup untuk apa Pak? Untuk
bayar uang rental komputer mengetik skripsi aja tak cukup. Gimana mau beli baju
baru, uang makan, uang sewa kost, uang transportasi, uang kuliah, dan uang jajan?
Tolonglah Pak, apa tak bisa ditambah satu juta lagi? Biar saya semangat
mengajar. Terserah bapak sumber uangnya dari mana. Kalau perlu naikkan saja SPP
nya Pak! Please dech Pak! Masa cuma
Rp 64.000. Bisik hatiku yang mulai skeptis menghiba-hiba.
“Selain
mengajar Bahasa Indonesia saya harapkan Pak Fikri juga seharusnya mau mengajarkan satu
mata pelajaran yang lain. Biar ada tambahan honor. Tapi itupun jika Pak Fikri
tak keberatan!” ucap Pak Hendri lagi.
Wah,
ada tambahan honor. Asiik! Mudah-mudahan mata pelajaran yang ini banyak jamnya,
biar honornya bisa banyak. Pikirku mulai optimis kembali.
“Ngajar
mata pelajaran apa Pak?” tanyaku bersemangat.
“Mata
pelajaran Stenografi!” jawab Pak Hendri dengan serius.
Whaaattt??!!
Stenografi? Pelajaran apa pula itu? Jangan bercanda dech Pak! Baru kali ini saya dengar ada pelajaran yang bernama
stenografi. Dari namanya saja kedengarannya sudah
susah. Mendingan
bapak suruh saya mengajar kesenian atau penjaskes aja. Jangan yang susah-susah dech, Pak! Hidup saya saja udah susah, jangan
ditambah lagi beban saya,
Pak! Ganti dech, Pak! Ganti ya, pleeaseee! Aku memohon menghiba-hiba
dalam hati meminta ganti mata pelajarannya. Soalnya dari namanya saja pelajaran
itu susah banget. Pasti banyak angka hitung-hitungannya.
“Pak
Desko, guru bahasa Indonesia yang kemaren itu, juga mengajarkan mata pelajaran
ini. Katanya beliau mahir menulis dan membaca steno karena autodidak. Jadi saya
harapkan Pak Fikri juga mau belajar sendiri menulis dan membaca steno. Hari
Rabu pagi yang akan datang Pak Fikri langsung mengajarkan materi ini di kelas
sekretaris. Ini buku pegangannya.” Kata Pak Hendri sambil menyerahkan.
Aku
terima buku cetak stenografi itu dengan tangan menggigil. Lalu langsung aku
buka dan melihat materi di dalamnya. Entah mengapa, tiba-tiba badanku, kudukku,
ketiak, dan selangkanganku, mulai terasa panas dan berkeringat.
Oh my Gosh!
Oh Tuhan, ya hayyun ya Qayyum! Huruf
apa ini seperti cacing-cacing kepanasan? Satupun huruf-huruf itu tak ada yang
aku kenal. Huruf Arab kayaknya bukan. Apakah huruf China, Korea, Jepang, Spanyol,
Portugis, atau Afrika Selatan? Tentu saja bukan. Karena sudah jelas ini adalah
huruf stenografi. Lalu kenapa pula orang-orang
harus belajar stenografi? Apakah kemampuan berbahasa Indonesia dan berbahasa
Inggris sudah tak cukup lagi sekarang?
Bersambung ke bagian 7
No comments:
Post a Comment