Breaking News
recent

Cerita Bersambung (Cerbung) "ROMANCING THE SMOKING TOWN" (Bag. 6)



 Bacalah terlebih dahulu kisah sebelumnya

3. STENOS DAN GRAPHEIN (Bag. 1)

“Silakan duduk Pak Fikri!” ucap pak kepsek, ketika kami sampai ke ruangannya.
“Terima kasih Pak!” jawabku sambil menebarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
Terlihat olehku sebuah ruangan yang tak terkesan ekslusif.
Pada bagian depan, di dekat pintu masuk, satu set meja rapat mini dengan 8 kursi, berbentuk bujur sangkar. Terlihat biasa saja, tapi ditata cukup rapi dan elegan. Di atas meja itu ada 8 name plate yang menerakan nama-nama orang dan jabatannya yang seharusnya duduk di situ. Ada Alfian Djoeremi – Ketua Komite Sekolah; Muhammad Zein M. – Pendiri SMK Labor; Hendripides – Kepala SMK Labor; dan lima name plate lain yang tak sempat aku lihat.
Pada bagian samping kanan, satu buah lemari besar tempat memajang piala-piala, vandel, dan photo-photo. Barang-barang itu tersusun tak begitu rapi.
Di belakang meja kerja pak kepsek, satu buah lemari kecil model dua pintu, tempat menyimpan buku-buku tebal, dan beberapa sertifikat,. Terlihat benda-benda itu sudah lama tak tersentuh. Mulai berdebu.
Pada sebelah kiri, dua buah jendela besar, berjeruji hitam dan bergorden warna biru.
Suhu di dalam ruangan cukup panas karena tak ada kipas angin, apalagi air conditioner.
“Pak Fikri masih sering ke kampus?” tanyanya membuka percakapan sambil duduk di kursi kebesarannnya, kursi kepala SMK Labor.
“Hanya sekali-kali saja Pak. Hanya untuk pembimbingan skripsi.” Jawabku sekenanya.
“Berarti Pak Fikri bisa full mengajar di sini?” tanyanya lagi.
Nampaknya Pak Hendri  bukanlah orang yang suka berbasa-basi. Langsung pada inti persoalannya. Kalimatnya ini tentu saja membuatku tiba-tiba menjadi harap-harap cemas. Memberiku beribu harapan yang berkelap-kelip dengan lampu hijau. Pucuk dicinta ulampun tiba. Ahhaaa…!! Apa memang betul aku akan diterima menjadi guru di sini, Pak? Apa Bapak tak salah pilih? Saya masih mahasiswa lho, Pak! Belum ujian sarjana.
“Insyaallah Pak, saya usahakan! Lagipula skripsi saya sudah hampir selesai. Jadi tak begitu banyak lagi kegiatan saya akhir-akhir ini.” Jawabku dengan senyum yang mengembang begitu sempurna.
Kalimat apalagi yang diharapkan oleh seorang pelamar kerja selain dari kalimat-kalimat yang menyiratkan bahwa dia akan diterima bekerja? Apalagi kalimat itu langsung diucapkan oleh orang yang punya wewenang penuh untuk itu.
“Baiklah Pak Fikri. Mulai hari Senin besok Pak Fikri mulai mengajar di sini! Menjadi guru bahasa Indonesia.” Kata beliau lagi membuat aku seperti ingin melompat dari tempat duduk dan berteriak sekeras-kerasnya.  
Subhanallah, walhamdulillah, walailahailallah, wallahuakbar! Allohumma lakalhamdu syukron, walakalmannu fadlan, Robbi auzi'nii an asykuro ni'matakallatii an'amta 'alayya, wa'alaa waalidayya wa ana'mala shoolihan tardhoohu, wa adkhilnii birohmatika fii 'ibaadakash shoolihiin, innii tubtu ilaika wa innii minal muslimiin.
Aku ucapkan doa syukur itu di dalam hati mulus tanpa suara.
Dadaku sesak dengan doa dan harapan-harapan indah yang memenuhi hingga ke relung hati yang paling dalam. Rasa senang itu tak bisa kutahan. Mengemuka di wajahku dengan menampilkan senyum yang penuh gairah.
Seketika terbayang wajah ibu dan bapakku di kampung yang sedang duduk berdua berdampingan di atas kursi selepas shalat Maghrib. Kedua wajah penat itu menatapku dengan senyum begitu ceria. Berdua mereka mengelus-elus rambut dan pundakku.
“Selepas ini, Pak Fikri silakan ke ruangan majelis guru mencatat daftar pelajaran. Tapi kalau tak salah, pelajaran Bahasa Indonesia itu ada di hari Selasa siang untuk kelas akuntansi dan Sabtu pagi untuk kelas Sekretaris. Untuk buku pegangan, guru kita yang lama, Pak Desko, memakai buku ini.” Ucap Pak Hendri sambil menyerahkan buku Bahasa Indonesia Untuk SMK Bisnis dan Manajemen, yang bersampul warna merah jambu.
Aku ambil buku itu dan membolak-baliknya sebentar. Kemudia aku letakkan ke atas meja di depanku.
“Untuk honor, Pak Fikri akan dibayar setiap tanggal satu, bulan berikutnya. Satu jam mengajar telah kita tetapkan honor sebesar Rp 4000. Seperti yang Pak Fikri ketahui, sekolah kita adalah sekolah yang baru dibuka. Baru dua lokal. Siswa keseluruhan berjumlah 67 orang. 34 orang jurusan akuntansi, dan 33 orang jurusan sekretaris. Sedangkan guru yang mengajar sebanyak 12 orang. Saat ini sekolah hanya mampu menetapkan honor sebesar Rp 4000 itu untuk setiap jam mengajar.”
“Pak Fikri akan mengajar di dua kelas, sekretaris dan akuntansi. Seminggu Pak Fikri akan mengajar sebanyak 4 jam. Berarti sebulan Pak Fikri akan mengajar sebanyak 16 jam. Jadi gaji Pak Fikri sebesar Rp 64.000.” jelas Pak Hendri dengan sangat detail. Sambil membuat hitung-hitungan pada kertas HVS kosong di atas meja.
Yaah, cuma Rp 64.000 sebulan. Uang sebesar itu sebulan cukup untuk apa Pak? Untuk bayar uang rental komputer mengetik skripsi aja tak cukup. Gimana mau beli baju baru, uang makan, uang sewa kost, uang transportasi, uang kuliah, dan uang jajan? Tolonglah Pak, apa tak bisa ditambah satu juta lagi? Biar saya semangat mengajar. Terserah bapak sumber uangnya dari mana. Kalau perlu naikkan saja SPP nya Pak! Please dech Pak! Masa cuma Rp 64.000. Bisik hatiku yang mulai skeptis menghiba-hiba.
“Selain mengajar Bahasa Indonesia saya harapkan Pak Fikri juga seharusnya mau mengajarkan satu mata pelajaran yang lain. Biar ada tambahan honor. Tapi itupun jika Pak Fikri tak keberatan!” ucap Pak Hendri lagi.
Wah, ada tambahan honor. Asiik! Mudah-mudahan mata pelajaran yang ini banyak jamnya, biar honornya bisa banyak. Pikirku mulai optimis kembali.
“Ngajar mata pelajaran apa Pak?” tanyaku bersemangat.
“Mata pelajaran Stenografi!” jawab Pak Hendri dengan serius.
Whaaattt??!! Stenografi? Pelajaran apa pula itu? Jangan bercanda dech Pak! Baru kali ini saya dengar ada pelajaran yang bernama stenografi. Dari namanya saja kedengarannya sudah susah. Mendingan bapak suruh saya mengajar kesenian atau penjaskes aja. Jangan yang susah-susah dech, Pak! Hidup saya saja udah susah, jangan ditambah lagi beban saya, Pak! Ganti dech, Pak! Ganti ya, pleeaseee! Aku memohon menghiba-hiba dalam hati meminta ganti mata pelajarannya. Soalnya dari namanya saja pelajaran itu susah banget. Pasti banyak angka hitung-hitungannya.
“Pak Desko, guru bahasa Indonesia yang kemaren itu, juga mengajarkan mata pelajaran ini. Katanya beliau mahir menulis dan membaca steno karena autodidak. Jadi saya harapkan Pak Fikri juga mau belajar sendiri menulis dan membaca steno. Hari Rabu pagi yang akan datang Pak Fikri langsung mengajarkan materi ini di kelas sekretaris. Ini buku pegangannya.” Kata Pak Hendri sambil menyerahkan.
Aku terima buku cetak stenografi itu dengan tangan menggigil. Lalu langsung aku buka dan melihat materi di dalamnya. Entah mengapa, tiba-tiba badanku, kudukku, ketiak, dan selangkanganku, mulai terasa panas dan berkeringat.
Oh my Gosh! Oh Tuhan, ya hayyun ya Qayyum! Huruf apa ini seperti cacing-cacing kepanasan? Satupun huruf-huruf itu tak ada yang aku kenal. Huruf Arab kayaknya bukan. Apakah huruf China, Korea, Jepang, Spanyol, Portugis, atau Afrika Selatan? Tentu saja bukan. Karena sudah jelas ini adalah huruf stenografi. Lalu kenapa pula orang-orang harus belajar stenografi? Apakah kemampuan berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris sudah tak cukup lagi sekarang?


Bersambung ke bagian 7
Randu Arbitra

Randu Arbitra

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.