Bacalah terlebih dahulu kisah sebelumnya
3. STENOS DAN GRAPHEIN (Bag. 2)
Aku
buka ke lembar berikutnya. Masih sama! Tulisan seperti itu juga yang tertera di
situ. Lembar berikutnya. Masih tulisan cacing itu juga.
Aku berharap pada halaman terakhir akan berubah dengan tulisan Latin. Cepat-cepat aku balikkan ke halaman terakhir.
Aku berharap pada halaman terakhir akan berubah dengan tulisan Latin. Cepat-cepat aku balikkan ke halaman terakhir.
Ternyata
masih sama. Malah semakin padat tulisan-tulisan sialan itu memenuhi halaman, memeningkan
kepala. Cepat-cepat aku tutup buku itu dengan muka pucat.
“Bagaimana
Pak Fikri?” tanya Pak Hendri membuat jantungku berdegup-degup semakin kencang.
“I-
in-syaallah sa- sa-ya pelajari dulu Pak! Kalau saya bisa, insyaallah saya akan
langsung masuk hari Rabu nanti. Tapi kalau saya tak mampu saya akan memberitahu
Bapak secepatnya!” Jawabku tergagap-gagap.
“Oh
begitu! Ok lah! Saya sangat berharap Pak Fikri bisa mengajarkan ini. Karena,
selain bisa menambah jam pelajaran yang Pak Fikri ajarkan saya juga jadi
terbantu, tak perlu mencari guru steno yang lain lagi. Saya pikir tidak akan
ada orang yang mau jadi guru steno di sini yang hanya mengajar dua jam
seminggu. Jadi, saya harap Pak Fikri pelajari dengan serius beberapa hari ini.”
Ucap Pak Hendri penuh harap kepadaku.
“Mudah-mudahan
Pak. Biasanya saya adalah orang yang cepat belajar. Tapi, entahlah kali ini.
Karena saya harus mulai belajar dari 0.
Dan tak ada orang yang menjadi pembimbing saya.” Jawabku membalas harapan Pak
Hendri.
“Oh
ya Pak Fikri, siswa yang bakalan Pak Fikri ajarkan steno ini sudah belajar
bersama Pak Desko selama lebih kurang 5 bulan. Jadi, paling tidak mereka sudah
punya dasar. Jadi, saya pikir tak akan begitu susah lagi Pak Fikri membimbing
mereka. Namun, seandainya Pak Fikri belum menguasai steno pada hari Rabu mendatang, bertindaklah
jadi pembimbing saja di dalam kelas nanti, sambil terus belajar!” jelas Pak
Hendri lebih jauh.
Aku
diam saja tak berkomentar. Tapi dalam hati aku mengomel.
Memang
tak susah Pak, tapi memalukan! Masa lebih pintar murid daripada gurunya.
Jangan-jangan nanti malah saya yang akan mereka ajarkan. Bakalan jadi
bulan-bulanan saya di dalam kelas nanti Pak! Kalau jam pelajaran steno mereka
bisa mengejek saya, tentu saja wibawa saya juga akan jadi berkurang pada saat
mengajarkan bahasa Indonesia. ‘Kan bisa kacau, Pak!
“Baiklah
Pak Fikri, silabus bahasa Indonesia dan stenografi silakan diminta kepada waka
kurikulum, Ibu Juli. Saya harapkan Pak Fikri membuat perangkat mengajar
secepatnya. Pengembangan silabus, RPP,
modul, alat dan media, soal-soal, dan kunci jawaban mohon segera dilengkapi.
Setelah selesai tolong di tempatkan di dalam map bekas milik Pak Desko, dan di
susun dengan rapi di majelis guru. Pak Fikri sudah bisa membuat RPP ‘kan?”
“Alhamdulillah
sudah Pak!”
“Bagus!
Berarti untuk masuk kelas berikutnya mohon telah diangsur pembuatannya! Apa ada
yang mau Pak Fikri tanyakan?” Nampaknya Pak Hendri ingin segera menutup
pertemuan ini.
“Bagaimana
jika saya tidak masuk mengajar Pak?” tanyaku.
“Kalau
Pak Fikri tak masuk, mohon kirim kabar. Telepon atau kirim surat ke sekolah.
Biar piket yang akan menggantikan Pak Fikri memberikan tugas kepada siswa yang
diambil dari map perangkat mengajar Pak Fikri nanti. Dan jika Pak Fikri tak
masuk mengajar dan tidak memberi khabar maka honor Pak Fikri akan dipotong
sebanyak Rp 4000 perjam. Tapi jika ada khabar dan ada tugas maka hanya akan
dipotong setengahnya saja.”
“Oh
ya hampir saya lupa. Semua guru-guru di sini juga diwajibkan untuk membayar
uang sosial sebesar Rp 5000 tiap bulan yang digunakan untuk sumbangan jika
nanti ada salah seorang dari kita yang sakit atau mengadakan acara.” Jelas Pak
Hendri panjang lebar.
Waduhh
Pak! Tunjangan-tunjangan tak ada, asuransi juga tak ada dibicarakan, malah
honor yang dipotong.
Beginikah
sulitnya cari uang itu? Aku yang sudah hampir sarjana saja seperti ini susahnya
cari uang. Bagaimana mereka yang cuma tamat SD? Berapa banyak tenaga yang
mereka keluarkan? Berapa pula upah yang mereka dapatkan? Jangan-jangan untuk
beli sembako dan pakaian yang layak saja tak cukup. Mana mungkin berpikir untuk
menyekolahkan anak. Nasib, nasib…!
Seandainya
nanti aku mampu mengajar stenografi berarti dalam seminggu aku akan mengajarkan
6 jam. Dikali 4, jadi 24 jam. 24 X Rp 4000 = Rp 96.000. Dipotong uang sosial
sebesar Rp 5000. Berarti tiap bulan gajiku cuma Rp 91.000. Uang segini hanya cukup untuk beli beras
untuk makanku sendiri. Tapi tak pakai ikan.
Ya
Allah, berat nian hidup ini. Aku pikir kalau sudah kuliah akan semakin mudah
cari uang. Ternyata aku salah. Sama sekali salah.
“Jangan
khawatir Pak Fikri. Bukan hanya Pak Fikri saja yang seperti itu. Guru-guru lain
juga sama. Gaji kita di sini hampir sama besarnya semua, termasuk saya sebagai
kepala sekolah. Maklumlah kita sekolah baru. Kita harus berjuang keras agar
sekolah ini tetap berjalan dan berkembang. Mudah-mudahan tahun ajaran baru
mendatang kita bisa menerima siswa baru lebih
banyak. Tahun ini kita hanya menerima siswa sebanyak 2 lokal karena kita
agak telat membuka pendaftarannya kemaren. Tahun depan kita akan buka pendaftaran
lebih cepat. Dan rencananya akan menambah satu jurusan lagi, jurusan marketing.
Jadi nantinya sekolah kita akan ada 3 jurusan. Kita berharap tahun depan kita
bisa menerima siswa baru sebanyak 4 lokal sekaligus. Jadi ada 6 lokal. Kalau
sudah sebanyak itu tentu saja honor kita di sini akan jauh lebih memadai.”
Jelas Pak Hendri panjang lebar untuk menghilangkan keragu-raguan sambil
menghiburku.
Aku
tak menjawab diam saja mendengarkan. Rasa ragu-ragu kian menguap ke kepalaku.
Apa mungkin aku bisa bertahan selama satu semester dengan gaji Rp 91.000?
Sedangkan untuk ongkos transportasi bolak-balik ke sini saja sudah lebih dari
Rp 50.000. Apakah aku bisa menjadi orang yang sabar menunggu masa-masa yang
lebih baik? Belum lagi masalah stenografi yang harus aku pelajari dari awal.
Tentunya ilmu ini akan sangat sulit aku kuasai karena aku harus belajar
sendiri. Ahh.. ternyata nasib belum berubah. Masih sama aja dari yang kemaren.
“Baiklah
Pak Fikri, jika sudah jelas, saya mau permisi. Saya harus ke Dinas Pendidikan
Kota. Ada yang
harus diselesaikan. Saya mengucapkan selamat bergabung menjadi tenaga pengajar
di SMK Labor mudah-mudahn Pak Fikri bisa menjadi tim yang hebat yang akan
membawa sekolah ini lebih baik
di masa mendatang.” Ucap Pak Hendri sambil mengulurkan tangannya.
Aku
sambut tangan itu dengan erat dan wajah yang tersenyum. Senyum yang miris dan
pesimis. Sambil berucap, “Insyaallah, makasih banyak Pak! Kalau begitu saya
juga mau ketemu sama Ibu Juli meminta silbus dan mencatat daftar pelajaran.”
“Ok!”
“Saya
permisi Pak! Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam!”
Lalu
aku berdiri dan keluar ruangan. Langsung menuju ke ruangan majelis guru untuk
bertemu Ibu waka kurikulum, Ibu Juli, untuk meminta silabus dan mencatat daftar
pelajaran.
Selesai
sudah masalah hari ini. Sekarang aku masuk ke dalam fase baru dengan masalah
baru yang lebih pelik dan berbelit-belit. Tapi paling tidak sekarang aku sudah
diterima menjadi seorang tenaga pengajar di SMK yang memiliki visi untuk
menjadi lembaga pendidikan yang bertaraf internasional ini.
Sekarang
tugas pertamaku adalah mempelajari stenografi sampai betul-betul menguasai
hingga bisa mengajarkannya kepada siswa pada hari Rabu mendatang agar aku
mendapat tambahan honor.
Bismillah
mudahkanlah jalanku ini ya Allah, amin!
Pagi itu aku pulang
ke kostku naik angkot dengan tubuh yang lemas, wajah yang tak cerah, dan
pikiran yang masih pesimis.Bersambung ke bagian 8
No comments:
Post a Comment