Breaking News
recent

Cerita Bersambung (Cerbung) "ROMANCING THE SMOKING TOWN" (Bag. 7)



Bacalah terlebih dahulu kisah sebelumnya

3. STENOS DAN GRAPHEIN (Bag. 2)

Aku buka ke lembar berikutnya. Masih sama! Tulisan seperti itu juga yang tertera di situ. Lembar berikutnya. Masih tulisan cacing itu juga.
Aku berharap pada halaman terakhir akan berubah dengan tulisan Latin. Cepat-cepat aku balikkan ke halaman terakhir.
Ternyata masih sama. Malah semakin padat tulisan-tulisan sialan itu memenuhi halaman, memeningkan kepala. Cepat-cepat aku tutup buku itu dengan muka pucat.
“Bagaimana Pak Fikri?” tanya Pak Hendri membuat jantungku berdegup-degup semakin kencang.
“I- in-syaallah sa- sa-ya pelajari dulu Pak! Kalau saya bisa, insyaallah saya akan langsung masuk hari Rabu nanti. Tapi kalau saya tak mampu saya akan memberitahu Bapak secepatnya!” Jawabku tergagap-gagap.
“Oh begitu! Ok lah! Saya sangat berharap Pak Fikri bisa mengajarkan ini. Karena, selain bisa menambah jam pelajaran yang Pak Fikri ajarkan saya juga jadi terbantu, tak perlu mencari guru steno yang lain lagi. Saya pikir tidak akan ada orang yang mau jadi guru steno di sini yang hanya mengajar dua jam seminggu. Jadi, saya harap Pak Fikri pelajari dengan serius beberapa hari ini.” Ucap Pak Hendri penuh harap kepadaku.
“Mudah-mudahan Pak. Biasanya saya adalah orang yang cepat belajar. Tapi, entahlah kali ini. Karena saya harus mulai belajar dari 0. Dan tak ada orang yang menjadi pembimbing saya.” Jawabku membalas harapan Pak Hendri.
“Oh ya Pak Fikri, siswa yang bakalan Pak Fikri ajarkan steno ini sudah belajar bersama Pak Desko selama lebih kurang 5 bulan. Jadi, paling tidak mereka sudah punya dasar. Jadi, saya pikir tak akan begitu susah lagi Pak Fikri membimbing mereka. Namun, seandainya Pak Fikri belum menguasai steno pada hari Rabu mendatang, bertindaklah jadi pembimbing saja di dalam kelas nanti, sambil terus belajar!” jelas Pak Hendri lebih jauh.
Aku diam saja tak berkomentar. Tapi dalam hati aku mengomel.
Memang tak susah Pak, tapi memalukan! Masa lebih pintar murid daripada gurunya. Jangan-jangan nanti malah saya yang akan mereka ajarkan. Bakalan jadi bulan-bulanan saya di dalam kelas nanti Pak! Kalau jam pelajaran steno mereka bisa mengejek saya, tentu saja wibawa saya juga akan jadi berkurang pada saat mengajarkan bahasa Indonesia. ‘Kan bisa kacau, Pak!
“Baiklah Pak Fikri, silabus bahasa Indonesia dan stenografi silakan diminta kepada waka kurikulum, Ibu Juli. Saya harapkan Pak Fikri membuat perangkat mengajar secepatnya. Pengembangan silabus, RPP, modul, alat dan media, soal-soal, dan kunci jawaban mohon segera dilengkapi. Setelah selesai tolong di tempatkan di dalam map bekas milik Pak Desko, dan di susun dengan rapi di majelis guru. Pak Fikri sudah bisa membuat RPP ‘kan?”
“Alhamdulillah sudah Pak!”
“Bagus! Berarti untuk masuk kelas berikutnya mohon telah diangsur pembuatannya! Apa ada yang mau Pak Fikri tanyakan?” Nampaknya Pak Hendri ingin segera menutup pertemuan ini.
“Bagaimana jika saya tidak masuk mengajar Pak?” tanyaku.
“Kalau Pak Fikri tak masuk, mohon kirim kabar. Telepon atau kirim surat ke sekolah. Biar piket yang akan menggantikan Pak Fikri memberikan tugas kepada siswa yang diambil dari map perangkat mengajar Pak Fikri nanti. Dan jika Pak Fikri tak masuk mengajar dan tidak memberi khabar maka honor Pak Fikri akan dipotong sebanyak Rp 4000 perjam. Tapi jika ada khabar dan ada tugas maka hanya akan dipotong setengahnya saja.”
“Oh ya hampir saya lupa. Semua guru-guru di sini juga diwajibkan untuk membayar uang sosial sebesar Rp 5000 tiap bulan yang digunakan untuk sumbangan jika nanti ada salah seorang dari kita yang sakit atau mengadakan acara.” Jelas Pak Hendri panjang lebar.
Waduhh Pak! Tunjangan-tunjangan tak ada, asuransi juga tak ada dibicarakan, malah honor yang dipotong.
Beginikah sulitnya cari uang itu? Aku yang sudah hampir sarjana saja seperti ini susahnya cari uang. Bagaimana mereka yang cuma tamat SD? Berapa banyak tenaga yang mereka keluarkan? Berapa pula upah yang mereka dapatkan? Jangan-jangan untuk beli sembako dan pakaian yang layak saja tak cukup. Mana mungkin berpikir untuk menyekolahkan anak. Nasib, nasib…!
Seandainya nanti aku mampu mengajar stenografi berarti dalam seminggu aku akan mengajarkan 6 jam. Dikali 4, jadi 24 jam. 24 X Rp 4000 = Rp 96.000. Dipotong uang sosial sebesar Rp 5000. Berarti tiap bulan gajiku cuma Rp 91.000.  Uang segini hanya cukup untuk beli beras untuk makanku sendiri. Tapi tak pakai ikan.
Ya Allah, berat nian hidup ini. Aku pikir kalau sudah kuliah akan semakin mudah cari uang. Ternyata aku salah. Sama sekali salah.
“Jangan khawatir Pak Fikri. Bukan hanya Pak Fikri saja yang seperti itu. Guru-guru lain juga sama. Gaji kita di sini hampir sama besarnya semua, termasuk saya sebagai kepala sekolah. Maklumlah kita sekolah baru. Kita harus berjuang keras agar sekolah ini tetap berjalan dan berkembang. Mudah-mudahan tahun ajaran baru mendatang kita bisa menerima siswa baru lebih  banyak. Tahun ini kita hanya menerima siswa sebanyak 2 lokal karena kita agak telat membuka pendaftarannya kemaren. Tahun depan kita akan buka pendaftaran lebih cepat. Dan rencananya akan menambah satu jurusan lagi, jurusan marketing. Jadi nantinya sekolah kita akan ada 3 jurusan. Kita berharap tahun depan kita bisa menerima siswa baru sebanyak 4 lokal sekaligus. Jadi ada 6 lokal. Kalau sudah sebanyak itu tentu saja honor kita di sini akan jauh lebih memadai.” Jelas Pak Hendri panjang lebar untuk menghilangkan keragu-raguan sambil menghiburku.
Aku tak menjawab diam saja mendengarkan. Rasa ragu-ragu kian menguap ke kepalaku. Apa mungkin aku bisa bertahan selama satu semester dengan gaji Rp 91.000? Sedangkan untuk ongkos transportasi bolak-balik ke sini saja sudah lebih dari Rp 50.000. Apakah aku bisa menjadi orang yang sabar menunggu masa-masa yang lebih baik? Belum lagi masalah stenografi yang harus aku pelajari dari awal. Tentunya ilmu ini akan sangat sulit aku kuasai karena aku harus belajar sendiri. Ahh.. ternyata nasib belum berubah. Masih sama aja dari yang kemaren.
“Baiklah Pak Fikri, jika sudah jelas, saya mau permisi. Saya harus ke Dinas Pendidikan Kota. Ada yang harus diselesaikan. Saya mengucapkan selamat bergabung menjadi tenaga pengajar di SMK Labor mudah-mudahn Pak Fikri bisa menjadi tim yang hebat yang akan membawa sekolah ini lebih baik di masa mendatang.” Ucap Pak Hendri sambil mengulurkan tangannya.
Aku sambut tangan itu dengan erat dan wajah yang tersenyum. Senyum yang miris dan pesimis. Sambil berucap, “Insyaallah, makasih banyak Pak! Kalau begitu saya juga mau ketemu sama Ibu Juli meminta silbus dan mencatat daftar pelajaran.”
“Ok!”
“Saya permisi Pak! Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam!”
Lalu aku berdiri dan keluar ruangan. Langsung menuju ke ruangan majelis guru untuk bertemu Ibu waka kurikulum, Ibu Juli, untuk meminta silabus dan mencatat daftar pelajaran.
Selesai sudah masalah hari ini. Sekarang aku masuk ke dalam fase baru dengan masalah baru yang lebih pelik dan berbelit-belit. Tapi paling tidak sekarang aku sudah diterima menjadi seorang tenaga pengajar di SMK yang memiliki visi untuk menjadi lembaga pendidikan yang bertaraf internasional ini.
Sekarang tugas pertamaku adalah mempelajari stenografi sampai betul-betul menguasai hingga bisa mengajarkannya kepada siswa pada hari Rabu mendatang agar aku mendapat tambahan honor.
Bismillah mudahkanlah jalanku ini ya Allah, amin!
Pagi itu aku pulang ke kostku naik angkot dengan tubuh yang lemas, wajah yang tak cerah, dan pikiran yang masih pesimis.


Bersambung ke bagian 8
Randu Arbitra

Randu Arbitra

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.