Bacalah terlebih dahulu kisah sebelumnya
4. KALIMAT AJAIB BAPAK (Bag. 1)
Sampai
di pintu depan rumah kost aku ucapkan salam setelah mengetuk pintu.
Terdengar
jawaban dari dalam. Suara adikku Wati, sayup-sayup sampai menyuruhku langsung
masuk saja karena pintu tidak dikunci. Mungkin dia sedang memasak di dapur.
Sebelum masuk ke rumah aku membuka sepatu dan kaos kaki.
Lalu menjinjingnya melewati ruang tamu dan ruang tengah, dan langsung ke dapur.
“Tak
kuliah Ti?” tanyaku sambil meletakkan sepatu pada rak sepatu yang disediakan di
dapur.
“Udah
pulang.” Jawabnya singkat sambil kedua tangannya tetap sibuk membelah ikan teri
dan membuang isi perutnya.
Aku
tak bertanya lagi. Langsung berjalan ke kamar. Mengganti pakaian formal dengan
pakaian rumahan. Setelah itu, aku langsung ke ruang tamu.
Ruangan
yang hanya berukuran 3 m X 2.5 m yang dipenuhi dengan sofa dan televisi,
sehingga untuk berbaring saja rasanya sudah sangat sempit. Kalau malam, aku dan
Bang Toni harus berbagi tempat tidur di ruangan ini. Karena kamar tidur hanya
ada 1, untuk Kak Rida dan Wati. Kadang-kadang terasa sangat sempit tidur berdua
dengan abangku di ruangan ini, hingga tak jarang aku harus mengalah dan tidur
di atas sofa.
Aku
buka pintu dan jendela lebar-lebar. Dan mulai berbaring diatas tikar parlak
yang tipis dan dingin. Mencoba untuk tidur siang.
Suara
bising musik yang diputar dari rumah tetangga sebelah cukup keras terdengar
sampai ke rumahku. Musik dangdut dan metal, bercampur-campur, saling adu keras. Suara yang
diantar oleh speaker yang besar membuat kaca jendela bergetar.
Rumah
kostku adalah rumah couple yang terdiri dari dari 4 rumah yang bergabung jadi
satu atap. Rumah pertama, yang paling besar, ditempati oleh keluarga pemilik
rumah kost ini. Pak Wagimin yang bersuku Jawa, dan istrinya, yang sampai saat
ini aku tak kenal namanya, bersuku Minang. Mereka memiliki 7 orang anak. 5
orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Rumah
kedua adalah rumah kostku bersama Kak Rida, Bang Toni , dan adikku, Wati.
Rumah
ketiga, ditempati oleh kakak beradik yang bersuku Jawa. Mereka tiga orang. Dua
orang laki-laki dan yang paling kecil adiknya perempuan. Mas Sugino, Mas Agug, dan Ninik. Mereka adalah tetangga
yang sangat baik. Musik dangdut itu datang dari rumah ketiga ini. Mereka adik
beradik memang suka dengan semua musik dangdut.
Dan
rumah terakhir, yang paling ujung, ditempati oleh pemuda-pemuda dari
Sungaipakning. Mereka terdiri dari 5
orang, semuanya laki-laki, dan hampir seumuran. Ujeng, Iwa, Ajid, Tayan, dan Endit. Bukan
dari satu keluarga. Tapi,
hari-kehari mereka lewati layaknya adik beradik dari satu keluarga, sangat
rukun dan saling berbagi. Kadang-kadang jika aku merasa terlalu sempit tidur di
rumah kostku,
aku sering menumpang
tidur di rumah mereka.
Merekapun tetangga yang sangat
baik, malah kepada siapapan.
Meskipun kepada orang yang belum dikenal.
Selain
kuliah mereka berlima
punya kesibukan bermain musik dan memodifikasi motor. Aku suka menonton jika
mereka latihan musik. Kadang-kadang juga
aku ikut diajak untuk main bersama. Tapi, namanya juga bermain musik di rumah
tentu alat-alat yang dipakai adalah alat-alat sederhana. Sendok, garfu, kaleng
biscuit, gitar akustik, dan kerincing itulah alat-alat yang ada.
Namun karena masing-masing punya jiwa seni yang sangat
berbakat dan bermain dengan serius tak jarang bunyi yang dikeluarkan sangat
bagus dan sangat asli. Ajidh dan aku
yang sering menjadi vokal jika bermain dirumah itu.
Mungkin jika orang-orang memperhatikan kami latihan
mereka tak akan pernah lepas tersenyum karena geli melihat kami latihan. Lucu
dan main-main itulah kesannya. Tak akan ada orang yang menduga bahwa beberapa
dari kami adalah pemusik yang sangat berbakat.
Tak akan ada juga orang yang menduga bahwa jika sudah
sampai di atas panggung penampilan mereka betul-betul berbeda. Sangat garang
dan sangat bertalenta. Dengan pakian yang serba hitam, make up yang terkesan
horor, wajah berkeringat yang terkesan angker, dan jeritan suara yang
serak-serak parau membuat andrenalin naik ke ubun-ubun untuk kepala tak mau
diam.
Telah
banyak penghargaan musik yang mereka raih untuk tingkat kota Pekanbaru.
Musik
Metal yang keras itu datang dari rumah keempat ini.
Sambil
berbaring dan mencoba untuk memejamkan mata aku teringat pesan bapakku dulu
ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP. Sebuah pesan yang tak pernah aku lupa
seumur hidup. Saat itu keadaan ekonomi keluarga betul-betul sedang sangat
payah.
Bapak
dan ibu menyebutkan bahwa kami terlilit hutang yang telah menumpuk begitu besar
pada Toke Kim Seng, seorang warga kampung yang bersuku Chines bermata sipit,
pemilik kedai yang menjual barang-barang harian, tempat keluarga kami
berbelanja dan berhutang.
Waktu
itu, bapak dan ibu merasa perlu mengadakan diskusi keluarga yang melibatkan
seluruh anggota keluarga. Kakak, abang, aku, dan juga adik-adikku yang
seluruhnya berjumlah delapan orang berkumpul membentuk sebuah lingkaran besar.
Menghadap kepada Bapak yang duduk didampingi oleh ibu di sampingnya.
Bapak
memulai pertemuan keluarga yang sangat penting itu dengan mengucapkan salam. Layaknya
sebuah pertemuan resmi dibalai desa atau di SD tempatnya bertugas. Tentu saja
ini sesuatu hal yang sangat tak biasa. Makanya, ini menjadi pertemuan yang
sangat penting.
“Assalamualaikum warahmatullahi
wabaraktuh.” Ucap bapak dengan wajah yang
sangat serius.
“Walaikumsalam
warahamatullahi wabarakatuh” jawab kami adik-beradik
dan juga ibu. Tentu saja dengan wajah yang juga sangat serius.
“Siang
ini bapak ingin mengajak kalian semua berdiskusi tentang keluarga kita. Sebelum
ini kita memang belum pernah berdiskusi seperti ini. Tapi kali ini nampaknya
keadaan sangat memaksa. Keadaan keluarga kita sudah sangat payah. Terutama
tentang masalah keuangan.” Ucap bapak membari pengantar dalam pertemuan tanpa
protokoler itu.
“Gaji
bapak sebagai kepala sekolah SD ditambah dengan tunjangan istri dan anak lebih
kurang sebesar Rp 1.200.000 perbulan kita terima. Bapak katakan ‘lebih kurang’
karena kadang-kadang ada pendapatan tambahan sehingga kita terima lebih dari
itu. Tapi kadang-kadang ada potongon untuk kebutuhan mendadak, jadi kita terima
kurang dari itu. Setiap bulan, gaji bapak itu, kita gunakan untuk membayar
hutang ke Toke Kim Seng, yang saat ini sudah berjumlah Rp 753.500 seperti yang
tercatat pada buku hutang yang sedang ibu pegang saat ini.”
Saat
itu ibu memang sedang memegang buku kecil. Aku tau di dalamnya ada catatan
hutang yang di tulis tangan oleh Toke Kim Seng.
Aku
tahu isi buku itu karena aku pernah diajak oleh ibu beberapa kali berbelanja di
kedai Kim Seng. Setiap selesai berbelanja ibu jarang membayar, tapi beliau
langsung menyerahkan buku kecil itu yang dicatat transaksinya oleh Toke Kim
Seng. Si toke juga mencatat data transaksi itu ke dalam sebuah buku besar yang ada di kedainya. Jadi, ada dua buku yang
catatannya sama persis.
“Sedangkan
penghasilan ibu dari berjualan kue-kue dan lontong tak bisa dihitung karena
setiap hari kita sarapan memakan kue-kue dan lontong itu. Kita harus lebih giat
membantu ibu dalam berjualan karena ekonomi keluarga kita sangat terbantu dari
pendapatan harian warung itu. ”
“Semua
kalian, anak-anak bapak dan ibu, delapan orang, saat ini butuh biaya sekolah.
Dan yang sangat memberatkan saat ini adalah kakak kalian yang paling tua, Kak
Rida, di Pekanbaru, sedang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk ujian
sarjana. Kak Rida kuliah di perguruan tinggi swasta, tentu tidak sedikit uang
yang diperlukan. Sedangkan gaji bapak hanya cukup untuk membayar hutang dan uang
SPP kalian. Selama ini, uang kuliah Kak Rida dibayar sendiri dari upah yang didapatnya
karena menjadi pembantu dirumah saudara kita di Pekanbaru, Bang Effendi.”
Kami
tetap diam mendengarkan pemaparan bapak tentang keadaan ekonomi keluarga yang
kedengarannya memang sedang sangat kritis.
Bersambung ke bagian 9.
Bersambung ke bagian 9.
No comments:
Post a Comment