Breaking News
recent

Cerita Bersambung (Cerbung) "ROMANCING THE SMOKING TOWN" (Bag. 8)


Bacalah terlebih dahulu kisah sebelumnya


4. KALIMAT AJAIB BAPAK (Bag. 1)
 
Sampai di pintu depan rumah kost aku ucapkan salam setelah mengetuk pintu.
Terdengar jawaban dari dalam. Suara adikku Wati, sayup-sayup sampai menyuruhku langsung masuk saja karena pintu tidak dikunci. Mungkin dia sedang memasak di dapur.
Sebelum masuk ke rumah aku membuka sepatu dan kaos kaki. Lalu menjinjingnya melewati ruang tamu dan ruang tengah, dan langsung ke dapur.
“Tak kuliah Ti?” tanyaku sambil meletakkan sepatu pada rak sepatu yang disediakan di dapur.
“Udah pulang.” Jawabnya singkat sambil kedua tangannya tetap sibuk membelah ikan teri dan membuang isi perutnya.
Aku tak bertanya lagi. Langsung berjalan ke kamar. Mengganti pakaian formal dengan pakaian rumahan. Setelah itu, aku langsung ke ruang tamu.
Ruangan yang hanya berukuran 3 m X 2.5 m yang dipenuhi dengan sofa dan televisi, sehingga untuk berbaring saja rasanya sudah sangat sempit. Kalau malam, aku dan Bang Toni harus berbagi tempat tidur di ruangan ini. Karena kamar tidur hanya ada 1, untuk Kak Rida dan Wati. Kadang-kadang terasa sangat sempit tidur berdua dengan abangku di ruangan ini, hingga tak jarang aku harus mengalah dan tidur di atas sofa.
Aku buka pintu dan jendela lebar-lebar. Dan mulai berbaring diatas tikar parlak yang tipis dan dingin. Mencoba untuk tidur siang.
Suara bising musik yang diputar dari rumah tetangga sebelah cukup keras terdengar sampai ke rumahku. Musik dangdut dan metal, bercampur-campur, saling adu keras. Suara yang diantar oleh speaker yang besar membuat kaca jendela bergetar.
Rumah kostku adalah rumah couple yang terdiri dari dari 4 rumah yang bergabung jadi satu atap. Rumah pertama, yang paling besar, ditempati oleh keluarga pemilik rumah kost ini. Pak Wagimin yang bersuku Jawa, dan istrinya, yang sampai saat ini aku tak kenal namanya, bersuku Minang. Mereka memiliki 7 orang anak. 5 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Rumah kedua adalah rumah kostku bersama Kak Rida, Bang Toni , dan adikku, Wati.
Rumah ketiga, ditempati oleh kakak beradik yang bersuku Jawa. Mereka tiga orang. Dua orang laki-laki dan yang paling kecil adiknya perempuan. Mas Sugino, Mas Agug, dan Ninik. Mereka adalah tetangga yang sangat baik. Musik dangdut itu datang dari rumah ketiga ini. Mereka adik beradik memang suka dengan semua musik dangdut.
Dan rumah terakhir, yang paling ujung, ditempati oleh pemuda-pemuda dari Sungaipakning. Mereka terdiri dari 5 orang, semuanya laki-laki, dan hampir seumuran. Ujeng, Iwa, Ajid, Tayan, dan Endit. Bukan dari satu keluarga. Tapi, hari-kehari mereka lewati layaknya adik beradik dari satu keluarga, sangat rukun dan saling berbagi. Kadang-kadang jika aku merasa terlalu sempit tidur di rumah kostku, aku sering menumpang tidur di rumah mereka. Merekapun tetangga yang sangat baik, malah kepada siapapan. Meskipun kepada orang yang belum dikenal.
Selain kuliah mereka berlima punya kesibukan bermain musik dan memodifikasi motor. Aku suka menonton jika mereka latihan musik. Kadang-kadang juga aku ikut diajak untuk main bersama. Tapi, namanya juga bermain musik di rumah tentu alat-alat yang dipakai adalah alat-alat sederhana. Sendok, garfu, kaleng biscuit, gitar akustik, dan kerincing itulah alat-alat yang ada.
Namun karena masing-masing punya jiwa seni yang sangat berbakat dan bermain dengan serius tak jarang bunyi yang dikeluarkan sangat bagus dan sangat asli.  Ajidh dan aku yang sering menjadi vokal jika bermain dirumah itu.
Mungkin jika orang-orang memperhatikan kami latihan mereka tak akan pernah lepas tersenyum karena geli melihat kami latihan. Lucu dan main-main itulah kesannya. Tak akan ada orang yang menduga bahwa beberapa dari kami adalah pemusik yang sangat berbakat.
Tak akan ada juga orang yang menduga bahwa jika sudah sampai di atas panggung penampilan mereka betul-betul berbeda. Sangat garang dan sangat bertalenta. Dengan pakian yang serba hitam, make up yang terkesan horor, wajah berkeringat yang terkesan angker, dan jeritan suara yang serak-serak parau membuat andrenalin naik ke ubun-ubun untuk kepala tak mau diam.
Telah banyak penghargaan musik yang mereka raih untuk tingkat kota Pekanbaru.
Musik Metal yang keras itu datang dari rumah keempat ini.
Sambil berbaring dan mencoba untuk memejamkan mata aku teringat pesan bapakku dulu ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP. Sebuah pesan yang tak pernah aku lupa seumur hidup. Saat itu keadaan ekonomi keluarga betul-betul sedang sangat payah.
Bapak dan ibu menyebutkan bahwa kami terlilit hutang yang telah menumpuk begitu besar pada Toke Kim Seng, seorang warga kampung yang bersuku Chines bermata sipit, pemilik kedai yang menjual barang-barang harian, tempat keluarga kami berbelanja dan berhutang.
Waktu itu, bapak dan ibu merasa perlu mengadakan diskusi keluarga yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Kakak, abang, aku, dan juga adik-adikku yang seluruhnya berjumlah delapan orang berkumpul membentuk sebuah lingkaran besar. Menghadap kepada Bapak yang duduk didampingi oleh ibu di sampingnya.
Bapak memulai pertemuan keluarga yang sangat penting itu dengan mengucapkan salam. Layaknya sebuah pertemuan resmi dibalai desa atau di SD tempatnya bertugas. Tentu saja ini sesuatu hal yang sangat tak biasa. Makanya, ini menjadi pertemuan yang sangat penting.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabaraktuh.” Ucap bapak dengan wajah yang sangat serius.
“Walaikumsalam warahamatullahi wabarakatuh” jawab kami adik-beradik dan juga ibu. Tentu saja dengan wajah yang juga sangat serius.
“Siang ini bapak ingin mengajak kalian semua berdiskusi tentang keluarga kita. Sebelum ini kita memang belum pernah berdiskusi seperti ini. Tapi kali ini nampaknya keadaan sangat memaksa. Keadaan keluarga kita sudah sangat payah. Terutama tentang masalah keuangan.” Ucap bapak membari pengantar dalam pertemuan tanpa protokoler itu.
“Gaji bapak sebagai kepala sekolah SD ditambah dengan tunjangan istri dan anak lebih kurang sebesar Rp 1.200.000 perbulan kita terima. Bapak katakan ‘lebih kurang’ karena kadang-kadang ada pendapatan tambahan sehingga kita terima lebih dari itu. Tapi kadang-kadang ada potongon untuk kebutuhan mendadak, jadi kita terima kurang dari itu. Setiap bulan, gaji bapak itu, kita gunakan untuk membayar hutang ke Toke Kim Seng, yang saat ini sudah berjumlah Rp 753.500 seperti yang tercatat pada buku hutang yang sedang ibu pegang saat ini.”
Saat itu ibu memang sedang memegang buku kecil. Aku tau di dalamnya ada catatan hutang yang di tulis tangan oleh Toke Kim Seng.
Aku tahu isi buku itu karena aku pernah diajak oleh ibu beberapa kali berbelanja di kedai Kim Seng. Setiap selesai berbelanja ibu jarang membayar, tapi beliau langsung menyerahkan buku kecil itu yang dicatat transaksinya oleh Toke Kim Seng. Si toke juga mencatat data transaksi itu ke dalam sebuah buku besar yang  ada di kedainya. Jadi, ada dua buku yang catatannya sama persis.
“Sedangkan penghasilan ibu dari berjualan kue-kue dan lontong tak bisa dihitung karena setiap hari kita sarapan memakan kue-kue dan lontong itu. Kita harus lebih giat membantu ibu dalam berjualan karena ekonomi keluarga kita sangat terbantu dari pendapatan harian warung itu. ”
“Semua kalian, anak-anak bapak dan ibu, delapan orang, saat ini butuh biaya sekolah. Dan yang sangat memberatkan saat ini adalah kakak kalian yang paling tua, Kak Rida, di Pekanbaru, sedang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk ujian sarjana. Kak Rida kuliah di perguruan tinggi swasta, tentu tidak sedikit uang yang diperlukan. Sedangkan gaji bapak hanya cukup untuk membayar hutang dan uang SPP kalian. Selama ini, uang kuliah Kak Rida dibayar sendiri dari upah yang didapatnya karena menjadi pembantu dirumah saudara kita di Pekanbaru, Bang Effendi.”
Kami tetap diam mendengarkan pemaparan bapak tentang keadaan ekonomi keluarga yang kedengarannya memang sedang sangat kritis. 

Bersambung ke bagian 9.
Randu Arbitra

Randu Arbitra

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.