Breaking News
recent

Cerita Bersambung (Cerbung) "ROMANCING THE SMOKING TOWN" (Bag. 9)



Bacalah terlebih dahulu kisah sebelumnya

4. KALIMAT AJAIB BAPAK (Bag. 2)

Aku yakin dua orang adikku yang paling kecil, Wati dan Ayu, belum bisa memahami apa yang bapak sampaikan tentang masalah keuangan yang membelit keluarga kami. Karena mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kalimat-kalimat bapak.
“Oleh karena begitu banyaknya kebutuhan kita pada saat ini maka bapak dan ibu telah memutuskan untuk meminjam uang ke bank, minggu depan. Insyaallah bapak akan meminjam sebesar Rp 10.000.000. Bapak tidak tahu dari mana kita akan dapat uang untuk mengansurnya nanti. Tapi Bapak percaya bahwa Tuhan pasti memberi jalan. Dia pasti tidak akan membiarkan kita terlalu sulit.”
“Bapak sangat bersyukur kepada Allah karena dianugerahkan anak-anak yang taat dan mengerti dengan keadaan orangtua. Tapi, sebetulnya bapak tak sampai hati melihat kalian, anak-anak bapak, sekolah sambil jualan es dan kue-kue. Kadang-kadang tengah malam bapak menangis sendiri memikirkan itu. Tak jarang bapak berdoa lama-lama meminta Allah memudahkan jalan hidup kita dan kalian dijadikan orang-orang yang berpendidikan tinggi nantinya, menjadi orang sukses. Bapak sangat bangga dengan ketabahan dan keteguhan hati kalian.”
Aku lihat bapak menerawang jauh. Sudut matanya mulai berair ketika mungcapkan kalimat-kalimat itu. Sedangkan ibu menunduk saja di sampingnya. Pundaknya bergoyang-goyang seperti orang yang sedang menahan isak tangis.
“Bapak dengar kabar, tahun ini, Pak Isyak, pemilik tanah paling luas di Rempak Hilir, bersedia meminjamkan tanahnya kepada orang-orang kampung untuk dijadikan ladang. Katanya kita tak perlu membayar sewa, karena tanahnya itu memang sudah ditumbuhi semak. Daripada tak terpakai beliau bersedia meminjamkannya kepada orang-orang untuk dijadikan ladang. Jadi, bapak berencana tahun ini kita harus berladang di sana. Kepada anak-anak bapak yang laki-laki bapak minta tolong untuk membantu di ladang selepas pulang sekolah.”
Bapak diam sejenak dan menunduk. Mungkin sedang berpikir untuk menyusun kalimat berikutnya. Atau malah sedang menenangkan hati agar tak terbawa suasana hati. Tentu saja dia tak ingin menangis di depan anak-anaknya. Selama ini kami belum pernah melihatnya menangis sekalipun. Dia orang kuat tempat kami berlindung.
“Bapak tak punya tanah, kebun, atau uang untuk dijadikan warisan jika bapak meninggal nanti. Tapi bapak berusaha sekuat tenaga, dengan tulang empat potong ini untuk bisa menyekolahkan kalian sampai setinggi yang kalian inginkan. Dapatkanlah ijazah yang kalian inginkan dan hiduplah dengan itu!”
Itu dia kalimat ajaib yang diucapkan bapak, sekaligus menutup diskusi keluarga sore itu. Kalimat itu menjadi inspirasiku hingga sekarang dan terus terngiang-ngiang di telingaku.
Tak lama lagi insyaallah aku akan mendapat ijazah dari sebuah universitas negeri yang paling terkemuka di provinsi ini. Dan kemungkinan besar itu menjadi ijazah pendidikan formal terakhirku. Karena aku sadar pendidikan itu mahal, aku tak akan sanggup membayar untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kalimat bapak yang optimis dan terus menerus memacu agar aku harus mendapatkan ijazah tertinggi dan hidupku akan tertopang dengan modal ijazah itu. Nampaknya sekarang aku harus mulai meragukannya.
Kenyataannya, saat ini, kerja yang aku dapat dari pendidikan yang sudah hampir aku selesaikan hanya memberikanku penghasilan Rp 91.000 perbulan. Jumlah uang yang hanya cukup untuk membayar uang rental komputer untuk pengetikan skripsiku. Mana mungkin aku bisa hidup dengan uang sejumlah itu.
Apa yang harus aku lakukan. Kebutuhan hidupku semakin hari semakin banyak dan mahal. Dan aku tak mungkin terus-menerus menggantungkun hidup dari kiriman bapak dan ibu di kampung. Apalagi sekarang kuliahku sudah hampir selesai. Seharusnyalah aku melakukan sebaliknya, mengirimi mereka uang dari hasil keringatku, walaupun hanya sedikit. Tapi dari mana uang itu aku dapatkan?
Otakku betul-betul kalut. Padahal seharusnya seperti kebiasaan orang-orang yang baru diterima bekerja aku wajib mengadakan acara makan-makan, kenduri, traktir-traktir keluarga dan teman-teman. Tapi aku koq malah menjadi makin runyam. Semakin pesimis dan semakin terasa miskin. Kenapa jadi begini?
Tiba-tiba Wati berteriak dari dapur, “Bang, bantu Wati menggiling cabe sekejap, Bang!”
Aku tak menjawab. Bangun dari lantai pembaringanku dan langsung menuju dapur.
Sebelum membantu Wati menggiling cabe aku hidupkan radio. Mencari siaran musik yang mungkin saja bisa menenangkan hati. Paling tidak bisa menjadi hiburan selama aku membantu Wati di dapur.
Ketemu! Sebuah lagu yang cukup nge-beat. Pocket Full of Sunshine oleh Natasha Bedingfield. Lumayan, musiknya cukup menghibur untuk menemaniku menggiling cabe. 

…Take me away a secret place
A sweet escape take me away
Take me away to better days
Take me away a hiding place …

Musiknya memang sangat menghibur tapi liriknya seperti menyindirku yang memang sedang sangat butuh seseorang untuk membawa aku ke tempat yang lebih baik.
Apa-apaan sich ni liriknya? Koq sok tau gitu sih? Usil aja dengan masalah orang. Ucapku dalam hati.
Lalu aku mulai sibuk dengan tugas yang diembankan Wati kepadaku, menggiling cabe.
Macam mane tadi Bang? Diterime jadi guru?” tanya Wati membuka percakapan.
“Alhamdulillah, diterime! Mulai Senin aku sudah mulai mengajar di situ.” Jawabku sambil terus menggiling.
Wati tak mengucapkan kalimat syukur atas keberhasilanku. Dia diam saja dan terus sibuk memotong tempe. Tapi aku yakin dia mengucapkannya di dalam hati.
“Kawan Wati ade yang pandai stenografi?” tanyaku tak begitu berharap.
Mana mungkin mahasiswa-mahasiswa jurusan bahasa Inggris ada yang pandai stenografi.
“Stenografi? Entah! Tak tau pulak Wati do. Ngape memangnye?” tanya Wati lebih lanjut. Dialeknya sudah tak murni Melayu lagi. Sudah bercampur-campur dengan bahasa Indonesia.
“Aku dimintak pak kepsek untuk mengajar steno di situ. Hari Rabu besok aku mulai masuk ngajar steno.”
Memangnye Abang bisa?”
“Entahlah!” jawabku singkat dan enteng. Tak mau berbagi kesulitan.
Selanjutnya tak ada lagi percakapan. Aku dan Wati diam saja menekuni kegiatan masing-masing. Hanya terdengar bunyi musik dan bunyi batu gilingan cabe bercampur-campur. 


Bersambung ke bagian 10
Randu Arbitra

Randu Arbitra

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.