Bacalah terlebih dahulu kisah sebelumnya
4. KALIMAT AJAIB BAPAK (Bag. 2)
Aku
yakin dua orang adikku yang paling kecil, Wati dan Ayu, belum bisa memahami apa
yang bapak sampaikan tentang masalah keuangan yang membelit keluarga kami.
Karena mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kalimat-kalimat bapak.
“Oleh
karena begitu banyaknya kebutuhan kita pada saat ini maka bapak dan ibu telah
memutuskan untuk meminjam uang ke bank, minggu depan. Insyaallah bapak akan
meminjam sebesar Rp 10.000.000. Bapak tidak tahu dari mana kita akan dapat uang
untuk mengansurnya nanti. Tapi Bapak percaya bahwa Tuhan pasti memberi jalan.
Dia pasti tidak akan membiarkan kita terlalu sulit.”
“Bapak
sangat bersyukur kepada Allah karena dianugerahkan anak-anak yang taat dan
mengerti dengan keadaan orangtua. Tapi, sebetulnya bapak tak sampai hati
melihat kalian, anak-anak bapak, sekolah sambil jualan es dan kue-kue.
Kadang-kadang tengah malam bapak menangis sendiri memikirkan itu. Tak jarang
bapak berdoa lama-lama meminta Allah memudahkan jalan hidup kita dan kalian
dijadikan orang-orang yang berpendidikan tinggi nantinya, menjadi orang sukses.
Bapak sangat bangga dengan ketabahan dan keteguhan hati kalian.”
Aku
lihat bapak menerawang jauh. Sudut matanya mulai berair ketika mungcapkan
kalimat-kalimat itu. Sedangkan ibu menunduk saja di sampingnya. Pundaknya bergoyang-goyang
seperti orang yang sedang menahan isak tangis.
“Bapak
dengar kabar, tahun ini, Pak Isyak, pemilik tanah paling luas di Rempak Hilir,
bersedia meminjamkan tanahnya kepada orang-orang kampung untuk dijadikan
ladang. Katanya kita tak perlu membayar sewa, karena tanahnya itu memang sudah
ditumbuhi semak. Daripada tak terpakai beliau bersedia meminjamkannya kepada orang-orang
untuk dijadikan ladang. Jadi, bapak berencana tahun ini kita harus berladang di
sana. Kepada anak-anak bapak yang laki-laki bapak minta tolong untuk membantu
di ladang selepas pulang sekolah.”
Bapak
diam sejenak dan menunduk. Mungkin sedang berpikir untuk menyusun kalimat
berikutnya. Atau malah sedang menenangkan hati agar tak terbawa suasana hati.
Tentu saja dia tak ingin menangis di depan anak-anaknya. Selama ini kami belum
pernah melihatnya menangis sekalipun. Dia orang kuat tempat kami berlindung.
“Bapak
tak punya tanah, kebun, atau uang untuk dijadikan warisan jika bapak meninggal
nanti. Tapi bapak berusaha sekuat tenaga, dengan tulang empat potong ini untuk bisa
menyekolahkan kalian sampai setinggi yang kalian inginkan. Dapatkanlah ijazah
yang kalian inginkan dan hiduplah dengan itu!”
Itu
dia kalimat ajaib yang diucapkan bapak, sekaligus menutup diskusi keluarga sore
itu. Kalimat itu menjadi inspirasiku hingga sekarang dan terus terngiang-ngiang
di telingaku.
Tak
lama lagi insyaallah aku akan mendapat ijazah dari sebuah universitas negeri
yang paling terkemuka di provinsi ini. Dan kemungkinan besar itu menjadi ijazah
pendidikan formal terakhirku. Karena aku sadar pendidikan itu mahal, aku tak akan
sanggup membayar untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kalimat
bapak yang optimis dan terus menerus memacu agar aku harus mendapatkan ijazah
tertinggi dan hidupku akan tertopang dengan modal ijazah itu. Nampaknya sekarang
aku harus mulai meragukannya.
Kenyataannya,
saat ini, kerja yang aku dapat dari pendidikan yang sudah hampir aku selesaikan
hanya memberikanku penghasilan Rp 91.000 perbulan. Jumlah uang yang hanya cukup
untuk membayar uang rental komputer untuk pengetikan skripsiku. Mana mungkin
aku bisa hidup dengan uang sejumlah itu.
Apa
yang harus aku lakukan. Kebutuhan hidupku semakin hari semakin banyak dan
mahal. Dan aku tak mungkin terus-menerus menggantungkun hidup dari kiriman
bapak dan ibu di kampung.
Apalagi sekarang kuliahku sudah hampir selesai. Seharusnyalah aku melakukan
sebaliknya, mengirimi mereka uang dari hasil keringatku, walaupun hanya
sedikit. Tapi dari mana uang itu aku dapatkan?
Otakku
betul-betul kalut. Padahal seharusnya seperti
kebiasaan orang-orang yang baru diterima bekerja aku wajib mengadakan acara
makan-makan, kenduri, traktir-traktir keluarga dan teman-teman. Tapi aku koq malah menjadi makin runyam. Semakin
pesimis dan semakin terasa miskin. Kenapa jadi begini?
Tiba-tiba
Wati berteriak dari dapur, “Bang, bantu Wati menggiling cabe sekejap, Bang!”
Aku
tak menjawab. Bangun dari lantai pembaringanku dan langsung menuju dapur.
Sebelum
membantu Wati menggiling cabe aku hidupkan radio. Mencari siaran musik yang
mungkin saja bisa menenangkan hati. Paling tidak bisa menjadi hiburan selama
aku membantu Wati di dapur.
Ketemu!
Sebuah lagu yang cukup nge-beat.
Pocket Full of Sunshine oleh Natasha Bedingfield. Lumayan, musiknya cukup menghibur
untuk menemaniku menggiling cabe.
…Take me away a
secret place
A sweet escape take me away
Take me away to better days
Take me away a hiding place …
Musiknya
memang sangat menghibur tapi liriknya seperti menyindirku yang memang sedang
sangat butuh seseorang untuk membawa aku ke tempat yang lebih baik.
Apa-apaan
sich ni liriknya? Koq sok tau gitu sih? Usil aja dengan masalah orang. Ucapku
dalam hati.
Lalu
aku mulai sibuk dengan tugas yang diembankan Wati kepadaku, menggiling cabe.
“Macam mane
tadi Bang? Diterime jadi guru?” tanya
Wati membuka percakapan.
“Alhamdulillah,
diterime! Mulai Senin aku sudah mulai
mengajar di situ.” Jawabku sambil terus menggiling.
Wati
tak mengucapkan kalimat syukur atas keberhasilanku. Dia diam saja dan terus
sibuk memotong tempe. Tapi aku yakin dia mengucapkannya di dalam hati.
“Kawan
Wati ade yang pandai stenografi?”
tanyaku tak begitu berharap.
Mana
mungkin mahasiswa-mahasiswa jurusan bahasa Inggris ada yang pandai stenografi.
“Stenografi?
Entah! Tak tau pulak Wati do. Ngape
memangnye?” tanya Wati lebih lanjut. Dialeknya sudah tak murni Melayu lagi.
Sudah bercampur-campur dengan bahasa Indonesia.
“Aku
dimintak pak kepsek untuk mengajar steno di situ. Hari Rabu besok aku mulai
masuk ngajar steno.”
“Memangnye Abang bisa?”
“Entahlah!”
jawabku singkat dan enteng. Tak mau berbagi kesulitan.
Selanjutnya
tak ada lagi percakapan. Aku dan Wati
diam saja menekuni kegiatan masing-masing. Hanya terdengar bunyi musik dan
bunyi batu gilingan cabe bercampur-campur.
Bersambung ke bagian 10
No comments:
Post a Comment