Bacalah terlebih dahulu kisah sebelumnya
5. THE SUFREE (Bag. 1)
Siang itu, aku duduk di teras depan rumah sambil
minum segelas Moccacino panas. Seperti biasa dari rumah kost di ujung tak
pernah berhenti musik diputar. Rumah itu persis seperti studio penyiaran radio.
Mulai dari musik metal yang paling keras sekelas Sepultura dan Limp Bizkit
hingga musik pop romantis sekelas Michael Learn to Rock berganti-ganti dari
pagi hingga tengah malam.
Bagi orang lain, tetangga-tetangga sekeliling, mungkin kebisingan itu akan terasa mengganggu. Tapi tidak bagiku. Aku malah menikmatinya. Karena selera musik mereka sama persis dengan selera musikku. Jadi, hitung-hitung aku tak perlu lagi menyetel tape Polytronku. Cukup nikmati saja musik yang mereka putar.
Bagi orang lain, tetangga-tetangga sekeliling, mungkin kebisingan itu akan terasa mengganggu. Tapi tidak bagiku. Aku malah menikmatinya. Karena selera musik mereka sama persis dengan selera musikku. Jadi, hitung-hitung aku tak perlu lagi menyetel tape Polytronku. Cukup nikmati saja musik yang mereka putar.
Mereka sering meminta pendapatku jika ingin membeli
kaset atau CD. Terutama untuk jenis musik pop romantis. Maka dengan senang hati
aku berikan referensi tentang musik yang menurutku asik untuk didengar. Lebih
tepatnya boleh dikatakan bahwa mereka selalu mengajakku berdiskusi jika akan
membeli kaset dan CD. Hampir 85 % dari kaset dan CD yang telah mereka beli itu ada
rekomendasi dariku. Meskipun mungkin hanya sedikit. Padahal tak sepeserpun uang
yang aku keluarkan untuk membeli semua itu. Mereka tak butuh uangku. Mereka
selalu punya banyak uang. Mereka hanya ingin dengar pendapatku tentang musik
ini dan musik itu, group musik ini dan group musik itu. Mana yang lebih bagus.
Memang tak semua pendapatku diiyakan. Tapi seperti
yang aku katakan, mereka selalu punya banyak uang. Jadi, jika pendapat kami berbeda
mereka tak akan keberatan untuk membeli kaset dua kali lipat lebih banyak.
Kaset yang mereka inginkan dan kaset yang aku rekomendasikan.
Aku sangat bersyukur punya tetangga seperti mereka.
Teman yang sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri.
Sesekali aku mengintip ke ruang tamu dari celah
gorden. Nampak di dalam sana Kak Rida sedang berbaring di atas sofa sambil
memegang remote control televisi. Volume televisi itu demikian kecil.
Sampai-sampai aku yang duduk di teras yang hanya berjarak dua meter pun tak
mendengarnya. Kak Rida memang tak pernah menyetel volume televisi keras-keras.
Hanya sekitar 8 hingga 12 dari skala 100 volume yang ada. Jika aku ikut
menonton dengannya aku sering harus mendekatkan kupingku hanya untuk bisa
mendengar lebih jelas suara pletak-pletuk orang berjalan yang menggunakan
sepatu ber-hak atau efek volume daun pintu yang berdecit dalam sebuah film.
Sebenarnya siang ini ada sesuatu yang sangat ingin
aku bicarakan dengan Kak Rida. Meminta pendapatnya sekaligus meminta bantuan.
Tapi aku belum punya keberanian untuk menyampaikannya. Padahal maksud ini sudah
sedemikian mendesak. Hanya saja aku tak tahu harus bagaimana menyampaikannya.
Ku pandang pucuk-pucuk pohon rambutan yang tumbuh di
depan rumah kostku yang bergoyang-goyang lembut ditiup angin sepoi-sepoi.
Kuhirup dua kali Moccacino dari gelas. Otakku berputar keras mencari kalimat
yang pas untuk menyampaikan maksud hati.
Kak Rida memang Kakak Kandungku. Namun seumur hidup
aku belum pernah bergurau dengannya. Kalaupun pernah, aku sudah tak ingat lagi
kapan itu terjadi. Jika kami bicara pasti itu masalahnya serius. Tak ada yang
main-main. Kak Rida sudah pergi merantau ketika aku masih sangat kecil, masih
sekolah di SD. Dan sejak itu sampai sekarang dia tidak pernah lagi menetap di
rumah, di kampung, bersama keluarga. Hanya kadang-kadang saja dia pulang jika
ada libur sekolah, kuliah, atau libur kerja kalau sekarang. Oleh karena itu,
aku tak begitu dekat dengannya. Padahal sekarang sudah tinggal serumah.
Hal yang paling harus aku perhatikan ketika tinggal
serumah dengan Kak Rida hanya aku harus melakukan perintahnya dan jangan
lakukan larangannya. Tak perlu banyak berucap. Lakukan saja atau tinggalkan.
Tapi, siang ini aku betul-betul harus bicara panjang
lebar dengannya. Meminta pendapatnya sekaligus meminta bantuan. Itulah yang
membuatku kalut. Aku tak tau harus bagaimana menyampaikannya. Tapi harus
disampaikan juga hari ini.
Kuhirup Moccacino tiga kali lagi. Lalu aku berdiri
dari bangku panjang tempat dudukku, yang ada di teras itu. Apapun yang terjadi
aku harus tetap berani menyampaikannya. Dia kakakku, pasti dia mau membantu.
Aku masuk ke rumah. Lalu duduk di lantai. Ikut
menonton acara televisi yang aku tak tau sedang menyiarkan acara apa. Karena
tiap sebentar chanelnya dialih oleh Kak Rida yang memegang remote control
sambil berbaring di sofa.
Lima menit. Aku masih diam dan menikmati siaran
iklan-iklan di televisi berganti-ganti.
Tujuh menit. Masih menonton iklan televisi tentang
alat kebugaran yang dijual secara khusus dengan harga yang sangat mahal dan
hanya bisa di dapat dari toko X.
Sepuluh menit. Aku sudah sangat tidak sabar ingin
segera berdiskusi.
“Kak, Fikri mau beli motor!” kataku sangat pelan
diantara volume televisi yang juga pelan.
Kak Rida diam saja. Tak ada reaksi, tak menoleh ke
arahku. Tetap saja dengan kegiatannya seperti tadi, mengganti-ganti chanel
siaran televisi. Tapi aku yakin dia pasti mendengar yang aku ucapkan barusan.
“Kalau bisa tolong tambah uangnya, Kak!” sambungku lagi
mengharap.
“Uang dikau berapa?” tanyanya dengan dialek Melayu
menanggapi ucapanku.
“Cuma dua juta tujuh ratus ribu.” Jawabku.
“Kredit atau tunai.” Tanya lagi.
Sekarang volume televisi diganti menjadi mute.
Kelihatannya dia mulai serius mendengarkanku. Tapi tetap tidak menoleh ke
arahku. Kegiatannya masih seperti tadi mengganti-ganti chanel televisi.
“Kalau bisa Tunai. Soalnya Fikri tak sanggup bayar
angsuran bulanannya kalau kredit.” Jawabku lagi beralasan.
“Kalau duit segitu mau beli tunai berarti bukan aku
yang menambah. Tapi akulah sebetulnya yang membeli dan dikau yang menambah.”
Aku diam saja. Terseyum dalam hati. Kak Rida benar.
Uangku terlalu sedikit untuk bisa dikatakan membeli motor. Bahkan masih jauh
dari setengah harga pasaran motor saat ini.
“Baru atau second.”
Tanyanya lagi.
“Second
ajalah.” Jawabku tau diri.
“Mau yang anggaran berapa? Merk apa?”
“Kalau bisa yang agak bagus biar tak sering-sering
masuk bengkel. Aku tak pandai memperbaiki sendiri. Kalau ada, sebetulnya aku
mau Suzuki Shogun warna hijau lumut. Tapi kalau susah mencarinya Honda Supra
juga tak apa.” Jawabku menyebutkan niatku.
Rasanya semua maksudku sudah aku sampaikan. Sekarang
tinggal menunggu keputusan dan bantuan dari Kak Rida.
Satu menit dia diam saja. Chanel televisi juga tidak
diganti-ganti. Tetap iklan, tetap mute.
Satu setengah menit. Dia masih diam di situ menatap
televisi.
Hampir dua menit. Aku sudah tak sabar menunggu
keputusannya. “Macam mana, Kak? Bisa bantu?”
Televisi di matikannya dengan remote control lalu dia
menoleh ke arahku. Kelihatannya ini akan menjadi pembicaraan yang sangat
serius.
“Kalau aku bantu, besok jika motornya sudah dapat,
tolong tiap hari aku diantar berangkat kerja, dan pulang kerja tolong dijemput.
Terus, motornya tolong dirawat baik-baik. Jangan dipakai ngebut-ngebut. Macam
mana?” tanyanya.
Ini dia dua peraturan yang harus aku taati jika ingin
dia ikut membantu membelikan motor untukku. Mengantar dan menjemputnya kerja,
dan jangan ngebut. Rasanya tak ada yang sulit. Gampang! Aku pasti bisa, jawabku
dalam hati kesenangan.
“Iya!” jawabku singkat.
Tak perlu penjelasan. Itu sudah cukup.
Bersambung... (Pada hari Senin yang akan datang)
sedap pulak ceritenye di bace ncik..........
ReplyDelete